Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ribuan pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Dalam praktik pemerintahan, sebagian pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan antarprovinsi kerap menjadi objek sengketa administratif, sebagaimana yang terjadi antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
Isu ini mencuat saat publik mengetahui bahwa empat pulau yang secara historis dianggap sebagai bagian dari Aceh—yaitu Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—tiba-tiba terdata dalam wilayah administrasi Sumatera Utara berdasarkan data Kemendagri melalui Peta Rupabumi Indonesia dan Referensi Wilayah (Wilkerstat).

BAB II: Kronologi Pengajuan oleh Pemprov Sumut
A. Fakta Baru Terungkap
Pada pertengahan Juni 2025, sejumlah aktivis dan tokoh Aceh menemukan bahwa usulan pemindahan keempat pulau tersebut berasal dari surat resmi yang diajukan oleh Gubernur Sumut kala itu, Edy Rahmayadi, pada tahun 2019.
Surat yang ditujukan kepada Kementerian Dalam Negeri RI itu memuat permintaan penyesuaian batas wilayah laut administratif antara Sumatera Utara dan Aceh, dengan alasan untuk menyelaraskan peta kerja pembangunan provinsi dan kepentingan tata ruang.
B. Isi Surat Edy Rahmayadi
Dokumen tersebut mencantumkan permohonan resmi agar wilayah empat pulau yang sebelumnya berada di bawah Kabupaten Aceh Singkil dimasukkan dalam cakupan administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah.
Alasan yang diberikan termasuk:
- Aspek pelayanan publik lebih efisien dari Sumut
- Pulau-pulau tersebut lebih dekat dengan daratan Sumut dibanding Aceh
- Ketidaksesuaian peta wilayah versi lama dengan realitas geografis dan pelayanan
BAB III: Respon dan Reaksi dari Pihak Aceh
A. Gubernur Aceh: Kami Tak Pernah Setuju
Penjabat Gubernur Aceh saat ini, Bustami Hamzah, menegaskan bahwa Pemerintah Aceh tidak pernah menyetujui adanya pemindahan tersebut. Ia menilai langkah Kemendagri merespons usulan Sumut tanpa komunikasi langsung dengan Aceh sebagai tindakan sepihak yang melukai kewenangan otonomi khusus Aceh.
“Ini masalah martabat dan integritas wilayah Aceh. Kami tidak akan diam,” tegasnya.
B. DPR Aceh: Akan Bawa ke Jalur Hukum
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) merespons dengan keras. Mereka bahkan mengancam akan membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi atau menggugat ke Mahkamah Agung melalui jalur hukum tata negara.
Mereka menyatakan bahwa Aceh memiliki dasar kuat:
- Sejarah pengelolaan wilayah sejak masa Kesultanan
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
- Keputusan bersama tata batas sebelumnya yang menyebutkan pulau-pulau tersebut berada dalam wilayah Aceh Singkil
BAB IV: Sikap Kemendagri dan Pemerintah Pusat
A. Klarifikasi Kemendagri
Kemendagri melalui Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan menyatakan bahwa pemutakhiran data wilayah tidak dilakukan secara sepihak. Namun, dalam proses verifikasi, tidak ditemukan keberatan dari Aceh di tahap awal, yang membuat perubahan tersebut sempat diakomodasi.
Meski demikian, setelah adanya protes resmi dari Pemerintah Aceh, pihak Kemendagri menyatakan siap melakukan peninjauan ulang dan membentuk Tim Klarifikasi Wilayah.
B. Presiden Minta Segera Selesaikan
Presiden Prabowo Subianto, yang mengetahui ketegangan antar daerah ini, meminta para pejabat teknis dari kedua provinsi segera menyelesaikan permasalahan secara musyawarah dan mengutamakan keutuhan nasional.
BAB V: Dinamika Politik di Sumut: Edy Rahmayadi Jadi Sorotan
A. Reputasi dan Langkah Strategis
Saat menjabat Gubernur Sumatera Utara (2018–2023), Edy Rahmayadi dikenal cukup aktif dalam memperkuat pengelolaan wilayah pesisir. Sejumlah pembangunan dermaga dan pos AL di pesisir Tapanuli Tengah memperkuat posisi Sumut terhadap wilayah maritim.
Kini, setelah masa jabatannya berakhir dan mencuat isu ini, banyak pihak mempertanyakan motif dari usulan pemindahan empat pulau tersebut.
“Apakah ini bagian dari strategi penguatan ekonomi maritim atau klaim administratif yang disengaja untuk perebutan sumber daya?” demikian analisa pengamat dari LIPI.
B. Respons Edy Rahmayadi
Dalam pernyataan yang diberikan melalui tim medianya, Edy mengaku bahwa usulan tersebut dilakukan atas pertimbangan geografis dan pelayanan publik, bukan perebutan wilayah.
Ia mengatakan:
“Tidak ada niat mencaplok wilayah Aceh. Kami hanya menyampaikan kondisi di lapangan, di mana aparat dan akses dari Sumut lebih dekat dan aktif melayani pulau-pulau tersebut.”
BAB VI: Reaksi Publik dan Akar Emosional Masyarakat Aceh
A. Sentimen Identitas dan Sejarah
Masyarakat Aceh, terutama warga Singkil, merespons dengan protes emosional. Mereka menyebut bahwa pemindahan ini melanggar kedaulatan lokal dan menghapus identitas budaya.
Pulau-pulau tersebut disebut kerap menjadi bagian penting dari sejarah, adat, hingga sistem nelayan tradisional yang terintegrasi dengan daratan Aceh.
B. Unjuk Rasa dan Petisi Online
Aksi protes dilakukan di beberapa titik:
- Unjuk rasa di Banda Aceh dan Singkil
- Seruan tokoh adat menolak pemindahan wilayah
- Petisi online yang sudah ditandatangani lebih dari 30 ribu orang per pertengahan Juni 2025
BAB VII: Kajian Hukum dan Tata Negara
A. Dasar Hukum Pengelolaan Wilayah
Pulau-pulau yang menjadi objek sengketa harus diatur berdasarkan:
- UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
- PP No. 43 Tahun 2021 tentang Wilayah Administratif
- Qanun Aceh sebagai produk hukum otonomi khusus
Ahli hukum tata negara Prof. Zainal Arifin Mochtar menilai bahwa prosedur harusnya disepakati dua provinsi dan tidak cukup hanya usulan dari satu pihak.
B. Mekanisme Penyelesaian
- Jalur Mediasi: melalui Kemendagri
- Jalur Mahkamah Konstitusi (jika menyangkut Undang-Undang)
- Judicial Review terhadap dokumen peta dan regulasi teknis
BAB VIII: Dampak Ekonomi dan Lingkungan
A. Potensi Sumber Daya
Pulau-pulau yang disengketakan ternyata memiliki potensi perikanan, minyak bumi, dan lokasi strategis untuk jalur pelayaran. Ini membuat nilai ekonominya cukup besar.
Sumut mungkin berkepentingan untuk memperkuat posisi dalam proyek pengembangan kawasan pesisir barat.
B. Risiko Konflik Lahan dan Eksploitasi
Tanpa kejelasan batas wilayah, risiko:
- Eksploitasi sumber daya tanpa izin
- Konflik lahan antara nelayan Aceh dan aparat Sumut
- Penambangan ilegal
semakin terbuka. Hal ini menjadi perhatian banyak LSM lingkungan.
BAB IX: Jalan Tengah dan Rekonsiliasi
A. Usulan Solusi
Sejumlah tokoh nasional dan akademisi menyarankan:
- Pembentukan tim independen dari pusat
- Penetapan status quo sebelum keputusan tetap
- Revitalisasi fungsi Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
B. Komitmen Dua Provinsi
Pj Gubernur Aceh dan Pj Gubernur Sumut kini disebut telah menyepakati pembentukan Tim Gabungan Klarifikasi Wilayah Perbatasan, yang ditargetkan bekerja maksimal hingga Agustus 2025.
BAB X: Kesimpulan – Menjaga Persatuan dalam Perbedaan
Polemik pemindahan empat pulau dari Aceh ke Sumut bukan hanya soal administratif. Ia menyangkut identitas, sejarah, martabat, dan rasa keadilan daerah. Terungkapnya bahwa usulan awal berasal dari mantan Gubernur Edy Rahmayadi memberikan babak baru dalam penyelidikan publik.
Namun yang paling penting, bangsa ini harus tetap menjunjung tinggi prinsip musyawarah, dialog antar daerah, dan solusi hukum yang adil. Sebab menjaga batas wilayah bukan untuk memisahkan, melainkan menegaskan sinergi dalam bingkai NKRI.