Pendahuluan: Kota Kabul di Ambang Kekeringan
Kabul, ibu kota Afghanistan yang dikelilingi pegunungan dan kaya akan sejarah, kini menghadapi tantangan eksistensial: krisis air minum. Apa yang dulunya dianggap sebagai kebutuhan dasar kini menjadi kemewahan langka bagi sebagian besar penduduk kota ini. Dalam beberapa tahun terakhir, kelangkaan air bersih semakin memburuk, diperparah oleh dua faktor utama: konflik berkepanjangan dan perubahan iklim yang ekstrem.
Dampak krisis ini bukan sekadar soal kebutuhan sehari-hari. Ia menimbulkan risiko kesehatan, memperbesar ketimpangan sosial, dan menciptakan ketegangan baru di masyarakat yang sudah rapuh. Air, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, kini menjadi pemicu kecemasan dan perebutan.
Air Minum: Kebutuhan yang Semakin Sulit Dipenuhi
Kabul, kota dengan lebih dari 4 juta penduduk, memiliki sistem distribusi air yang sangat terbatas. Sebagian besar warga tidak terhubung ke jaringan air perpipaan dan mengandalkan sumur-sumur dangkal, air hujan, atau pasokan dari truk air yang datang seminggu sekali. Tapi sekarang, sumur-sumur itu mulai mengering. Musim kemarau yang lebih panjang dan curah hujan yang tak menentu menyebabkan permukaan air tanah terus menurun.
Banyak keluarga kini harus menempuh jarak berkilometer hanya untuk mendapatkan air bersih. Anak-anak dan perempuan sering kali menjadi pihak yang paling terdampak karena merekalah yang bertugas mengambil air setiap hari. Tak jarang, air yang mereka dapatkan pun tidak layak konsumsi, berisiko menimbulkan penyakit seperti diare, kolera, dan infeksi kulit.

Konflik Berkepanjangan Menghancurkan Infrastruktur
Afghanistan telah mengalami konflik selama lebih dari empat dekade, dan Kabul tidak luput dari dampaknya. Infrastruktur publik, termasuk sistem penyediaan air, hancur atau tidak pernah diperbarui. Saluran distribusi air rusak, pompa air banyak yang terbengkalai, dan dana pemeliharaan nyaris tidak tersedia karena pemerintah berjuang dengan keterbatasan anggaran dan instabilitas politik.
Sementara itu, konflik membuat banyak daerah sumber air menjadi tidak aman untuk dijangkau. Bendungan kecil yang dulunya digunakan untuk mengairi desa dan ladang kini berada di zona konflik atau dikendalikan kelompok bersenjata. Proyek-proyek pembangunan air bersih sering kali terhenti karena situasi keamanan yang tidak menentu.
Kondisi ini menjadikan akses terhadap air bukan hanya persoalan teknis, tapi juga isu keamanan dan politik. Warga sipil menjadi korban dari perebutan kontrol atas sumber daya paling mendasar ini.
Perubahan Iklim: Musim yang Tak Lagi Dapat Diprediksi
Selain konflik, perubahan iklim memainkan peran besar dalam memperparah krisis air di Kabul. Suhu di Afghanistan meningkat dua kali lebih cepat dari rata-rata global. Musim salju yang dulu menyediakan cadangan air untuk musim panas kini semakin tipis. Sungai-sungai yang mengandalkan air salju dari pegunungan mengering lebih cepat dari sebelumnya.
Curah hujan pun menjadi tidak teratur. Kadang dalam bentuk badai sesaat yang menyebabkan banjir dan merusak sistem drainase, tetapi tidak cukup untuk mengisi akuifer atau sumur dalam jangka panjang. Akibatnya, cadangan air tanah terus menyusut, sementara permintaan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk.
Laporan dari UNEP (United Nations Environment Programme) menyebut bahwa Kabul kini berada di ambang krisis air besar-besaran jika tidak ada intervensi serius dalam satu dekade ke depan.
Truk Air dan Air Kemasan: Solusi Sementara yang Tidak Merata
Untuk mengatasi kelangkaan air, banyak warga Kabul kini bergantung pada truk pengangkut air. Setiap hari, truk-truk ini mengantarkan air bersih ke pemukiman-pemukiman padat penduduk. Tapi harga air dari truk bisa sangat mahal—terkadang mencapai sepertiga dari pendapatan bulanan keluarga miskin.
Air kemasan juga menjadi alternatif, tetapi harganya jelas tidak terjangkau untuk sebagian besar penduduk. Di tengah krisis ekonomi dan tingkat pengangguran tinggi, air bersih menjadi komoditas yang memisahkan antara si miskin dan si kaya.
Warga di perkampungan informal dan pinggiran kota Kabul adalah yang paling menderita. Mereka tidak memiliki akses terhadap sumur atau truk air, dan terpaksa menggunakan air yang tercemar dari selokan atau saluran air limbah.
Dampak Kesehatan dan Sosial yang Meluas
Krisis air minum di Kabul tidak hanya berdampak pada tubuh, tetapi juga pada struktur sosial. Wabah penyakit yang ditularkan melalui air meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Rumah sakit kewalahan menangani kasus diare akut, kolera, dan infeksi lainnya, terutama di musim panas ketika suhu ekstrem mempercepat pembusukan air yang terkontaminasi.
Anak-anak menjadi kelompok paling rentan. Kurangnya air bersih menyebabkan kekurangan gizi, gagal tumbuh, dan angka kematian bayi yang tinggi. Di sekolah-sekolah, banyak siswa harus pulang lebih awal karena tidak ada air untuk kebutuhan dasar seperti mencuci tangan atau menggunakan toilet.
Ketimpangan sosial juga makin tajam. Keluarga yang mampu membeli air bersih dapat menjaga kesehatan mereka, sementara keluarga miskin terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan penyakit. Konflik pun bisa muncul di tingkat komunitas akibat perebutan sumber air, memperbesar ketegangan horizontal yang sudah ada.
Upaya dan Harapan: Dari Komunitas hingga Internasional
Meskipun tantangan besar, beberapa upaya terus dilakukan untuk mengatasi krisis ini. LSM lokal dan internasional berperan penting dalam membangun kembali sumur dalam, mendistribusikan filter air, serta mengedukasi masyarakat tentang sanitasi dan konservasi air.
Di beberapa sekolah, proyek rainwater harvesting atau penampungan air hujan mulai diterapkan. Teknologi sederhana ini memungkinkan penampungan air saat musim hujan dan digunakan di musim kering. Beberapa masjid juga dijadikan pusat distribusi air bersih gratis oleh komunitas.
PBB dan lembaga donor mulai menyoroti krisis air ini sebagai bagian dari agenda kemanusiaan di Afghanistan. Namun tantangannya tetap besar: bagaimana memastikan program jangka panjang dapat berjalan di tengah ketidakpastian politik dan keamanan?
Solusi Jangka Panjang: Perlu Investasi dan Ketahanan Iklim
Untuk mengatasi krisis air secara menyeluruh, Afghanistan membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur air bersih yang tahan terhadap perubahan iklim dan stabil secara politik. Ini mencakup:
- Pengelolaan air tanah secara berkelanjutan
- Restorasi daerah aliran sungai dan penghijauan untuk menjaga resapan air
- Pembangunan bendungan kecil dan sistem irigasi ramah lingkungan
- Pelatihan komunitas dalam konservasi dan distribusi air
Kerja sama regional juga penting. Afghanistan berbagi sungai dengan negara-negara tetangganya seperti Iran dan Pakistan. Perjanjian berbagi air dan kerja sama dalam pengelolaan sumber daya lintas batas dapat mencegah konflik baru sekaligus memperkuat ketahanan wilayah terhadap kekeringan.
Krisis yang Tidak Boleh Diabaikan
Di tengah perhatian dunia yang kerap tertuju pada aspek geopolitik dan keamanan di Afghanistan, krisis air adalah masalah senyap yang berisiko meledak kapan saja. Ia perlahan melumpuhkan kota, melemahkan kesehatan masyarakat, dan menciptakan ketegangan baru yang tidak kalah berbahaya.
Hari demi hari, sumur mengering, sungai menyusut, dan masyarakat makin kehausan—baik secara harfiah maupun simbolis. Jika tidak segera ditangani, krisis air Kabul bisa menjadi contoh nyata bagaimana kombinasi konflik dan perubahan iklim dapat menciptakan bencana kemanusiaan jangka panjang.
Penutup: Kabul dan Masa Depan Air
Air adalah hak dasar manusia, bukan komoditas mewah. Tapi di Kabul, air telah menjadi simbol krisis yang lebih dalam: rapuhnya infrastruktur, hancurnya sistem, dan ketidakpastian masa depan. Namun, di tengah semua itu, masih ada harapan—pada warga yang berjuang, pada relawan yang membantu, dan pada dunia yang bersedia mendengar.
Kabul mungkin kekurangan air, tapi tidak kekurangan harapan. Krisis ini adalah panggilan untuk bertindak—bukan besok, tapi hari ini.
Baca juga : Rayakan Hari Buku Nasional, Kita Bertemu: Antara Halaman, Imajinasi, dan Harapan